Sabtu, 28 November 2015

Lestari Gumukku, Lestari Alamku

Gumuk adalah kata yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jember, karena Jember dulu dijuluki sebagai Kota Seribu Gumuk. Pada tahun 2005 jumlah gumuk mecapai 823, hal inilah kemudianmenyebabkan gumuk menjadi tidak spesial di mata masyarakat Jember. Seperti yang dikatakan oleh Giri salah satu aktivis #SaveGumuk, gerakan untuk melindungi gumuk-gumuk di Jember,  salah seorang temannya pernah mengatakan, ”Untuk apa melindungi gumuk jika jumlahnya masih banyak?”
Menurut Sutrisno (Dosen Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jember), hanya ada dua wilayah di Indonesia yang mempunyai bentang alam berupa gumuk, yaitu di Jember dan Tasikmalaya. Gumuk memiliki perbedaan dengan bukit, kandungan antara bukit dan gumuk memiliki perbedaan yang jelas: Gumuk mengandung batu piring, pasir, batu pondasi, sedangkan bukit sebagian besar kandungannya hanya tanah biasa.

Gumuk adalah aset  kabupaten Jember, namun masyarakat yang apatis tentang hal ini membuat keberadaanya semakin terancam. Saat ini jumlah gumuk hanya sekitar  600 buah, karena terjadi banyak pengerukan, seperti pada Gumuk Tidar, Gunung Batu, gumuk di daerah Jawa VII, dan pengerukan kapur di daerah Puger. Menurut M. Farid Ma'ruf (Dosen Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik  Universitas Jember), pembangunan dilakukan karena gumuk berada pada daerah yang strategis. Hal ini juga dibenarkan oleh Hendrik, Ketua Tim Pemasaran Perumahan Istana Tidar menyatakan bahwa daerah Gumuk Tidar baik untuk bisnis properti, karena dekatdengan kampus IKIP, AKBID, POLIJE dan UNEJ.  “Pembangunan yang dilakukan pada daerah gumuk memiliki kelemahan terutama untuk masalah regulasi air, karena wilayah gumuk lebih tinggidibandingkan wilayah lainnya,” lanjut Farid. Hal yang sama juga disampaikan oleh Hendrik, pembangunan di atas gumuk memang memiliki kelemahan untuk masalah persediaan air, sehingga rumah-rumah di Perumahan Istana Tidar harus membuat sumur bor.

Banyaknya pengerukan gumuk yang dilakukan, menyebabkan bencana puting beliung pada tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Kaliwates, Kecamatan Sumbersari dan Kecamatan Patrang. Menurut Hasan warga asal Kaliwates, Jember belum pernah terjadi angin puting beliung, namun sekitar tiga tahun yang lalu bencana angin puting beliung terjadi. Berdasarkan keterangan dari Giri salah satu penyebab terjadinya angin puting beliung karena hilangnya gumuk yang merupakan penahan angin.
Gumuk juga memiliki manfaat sebagai daerah resapan air, Seperti yang dikatakan Priyo, pegawai Kantor Lingkungan Hidup Jember dilansir dari Ecpose Online, "Mengkhawatirkan, kehilangan gumuk di daerah Jember dapat menyebabkan siklus banjir lima tahunan terjadi lagi, hal ini disebabkan serapan utama air yang ada di daerah Jember hilang.”
Energi untuk Mengeruk Gumuk Pemilik gumuk Gunung Batu yang bernama Mad, mengatakan bahwa akan meratakan gumuk ini. Selama proses pengerukan ini, dia menggunakan alat backhoe yang menghabiskan sekitar 60 sampai 80 liter solar per hari. Ini berarti dalam 100 hari, maka pemilik gumuk menghabiskan 6000 liter solar hanya untuk satu gumuk. Menurut Mad, Gunung Batu itu akan dibuat perumahan untuk anak dan cucunya kelak yang hanya berjumlah 8 orang.
Penggunaan bahan bakar solar diketahui ikut menyumbang gas CO2 yang turut memicu pemanasan global. Solar juga berasal dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbarui. Dampak ini tidak sebanding dengan manfaatnya mengingat perumahan hanya akan dihuni oleh beberapa orang saja.

Perataan gumuk untuk memenuhi kebutuhan hunian manusia terlihat tidak efektif. Pengerukan gumuk dapat mengubah topografi tanah mengakibatkanputing beliung maupun berkurangnya ketersediaan air.
By : Novitariyani Hasanah & Hidayatul M