Gumuk adalah kata yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jember,
karena Jember dulu dijuluki sebagai Kota Seribu Gumuk. Pada tahun 2005 jumlah
gumuk mecapai 823, hal inilah kemudianmenyebabkan gumuk menjadi tidak spesial
di mata masyarakat Jember. Seperti yang dikatakan oleh Giri salah satu aktivis
#SaveGumuk, gerakan untuk melindungi gumuk-gumuk di Jember, salah seorang temannya pernah mengatakan,
”Untuk apa melindungi gumuk jika jumlahnya masih banyak?”
Menurut
Sutrisno (Dosen Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jember),
hanya ada dua wilayah di Indonesia yang mempunyai bentang alam berupa gumuk,
yaitu di Jember dan Tasikmalaya. Gumuk memiliki perbedaan dengan bukit,
kandungan antara bukit dan gumuk memiliki perbedaan yang jelas: Gumuk
mengandung batu piring, pasir, batu pondasi, sedangkan bukit sebagian besar
kandungannya hanya tanah biasa.
Gumuk
adalah aset kabupaten Jember, namun
masyarakat yang apatis tentang hal ini membuat keberadaanya semakin terancam.
Saat ini jumlah gumuk hanya sekitar 600
buah, karena terjadi banyak pengerukan, seperti pada Gumuk Tidar, Gunung Batu,
gumuk di daerah Jawa VII, dan pengerukan kapur di daerah Puger. Menurut M.
Farid Ma'ruf (Dosen Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Jember), pembangunan dilakukan
karena gumuk berada pada daerah yang strategis. Hal ini juga dibenarkan oleh
Hendrik, Ketua Tim Pemasaran Perumahan Istana Tidar menyatakan bahwa daerah
Gumuk Tidar baik untuk bisnis properti, karena dekatdengan kampus IKIP, AKBID,
POLIJE dan UNEJ. “Pembangunan
yang dilakukan pada daerah gumuk memiliki kelemahan terutama untuk masalah
regulasi air, karena wilayah gumuk lebih tinggidibandingkan wilayah lainnya,”
lanjut Farid. Hal yang sama juga disampaikan oleh Hendrik, pembangunan di atas
gumuk memang memiliki kelemahan untuk masalah persediaan air, sehingga
rumah-rumah di Perumahan Istana Tidar harus membuat sumur bor.
Banyaknya
pengerukan gumuk yang dilakukan, menyebabkan bencana puting beliung pada tiga
kecamatan, yaitu Kecamatan Kaliwates, Kecamatan Sumbersari dan Kecamatan
Patrang. Menurut Hasan warga asal Kaliwates, Jember belum pernah terjadi angin
puting beliung, namun sekitar tiga tahun yang lalu bencana angin puting beliung
terjadi. Berdasarkan keterangan dari Giri salah satu penyebab terjadinya angin
puting beliung karena hilangnya gumuk yang merupakan penahan angin.
Gumuk juga memiliki manfaat sebagai daerah
resapan air, Seperti yang dikatakan Priyo, pegawai Kantor Lingkungan Hidup
Jember dilansir dari Ecpose Online, "Mengkhawatirkan, kehilangan gumuk di
daerah Jember dapat menyebabkan siklus banjir lima tahunan terjadi lagi, hal
ini disebabkan serapan utama air yang ada di daerah Jember hilang.”
Energi untuk Mengeruk Gumuk Pemilik gumuk Gunung Batu yang bernama Mad, mengatakan bahwa akan
meratakan gumuk ini. Selama proses pengerukan ini, dia menggunakan alat backhoe
yang menghabiskan sekitar 60 sampai 80 liter solar per hari. Ini berarti dalam
100 hari, maka pemilik gumuk menghabiskan 6000 liter solar hanya untuk satu
gumuk. Menurut Mad, Gunung Batu itu akan dibuat perumahan untuk anak dan
cucunya kelak yang hanya berjumlah 8 orang.
Penggunaan bahan bakar solar diketahui
ikut menyumbang gas CO2 yang turut memicu pemanasan global. Solar
juga berasal dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbarui. Dampak ini
tidak sebanding dengan manfaatnya mengingat perumahan hanya akan dihuni oleh
beberapa orang saja.
Perataan
gumuk untuk memenuhi kebutuhan hunian manusia terlihat tidak efektif. Pengerukan
gumuk dapat mengubah topografi tanah mengakibatkanputing beliung maupun berkurangnya
ketersediaan air.
By : Novitariyani Hasanah & Hidayatul M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar